This book offers a critical survey of the origins of liberalism. It challenges the widely-held belief among philosophers that liberalism developed in opposition to religion. Beginning with the Protestant Reformation, it illustrates how Christian thinkers reinterpreted Christianity and used a set of biblical presuppositions from their reinterpretations to develop the first liberal ideas, starting a process that culminates in the birth of the first systematic liberal political philosophy in the writings of a Christian philosopher, John Locke. -/- Foreworded by Michael (...) A. Gillespie, the author of The Theological Origins of Modernity, this book explains how the Protestant Reformation, covenant theology, anti-trinitarianism, and medieval Christian natural law theories formed the foundations of liberalism. Thus, the main argument of this book is that liberalism is better understood as a socio-political project of theistic rationalism, a radical reinterpretation of Christianity that emerged in the post-Reformation and early modern period. (shrink)

Karl Popper’s critique of idealism manifests itself with the application of his method, falsificationism, to metaphysics, epistemology, and social and political philosophy. According to Popper, who identifies himself as a philosophical realist, idealism has emerged as a result of the idea that reality cannot be known by reason and of the search for certainty which is erroneous, and it has begotten two mistaken and detrimental views. These views are historicism, the notion that history has an irresistible course, and holism, the (...) notion that social wholes are organic structures that amount to more than the individuals constituting them. Historicism and holism have become the philosophical underpinnings of closed societies throughout history, such as the totalitarian regimes of the 20th century. Therefore, with a practical leaning, Popper actually takes aim at these pernicious consequences of idealism while criticizing it. In this study, idealism and the contours of Popper’s philosophy are examined, and then Popper’s metaphysical, epistemological, social, and political critiques against idealism are investigated. Keywords: Karl Popper, idealism, historicism, holism, falsificationism. (shrink)

This study is the first part of an attempt to settle a vigorous debate among historians of medieval philosophy by harnessing the resources of analytic philosophy. The debate is about whether Avicenna's epistemology is rationalist or empirical. To settle the debate, I first articulate in this article the three core theses of rationalism and one core thesis of empiricism. Then, I probe Avicenna's epistemology in his major works according to the first core thesis of rationalism (the intuition thesis). In the (...) end, I find Avicenna committed to this thesis in at least one substantive way, namely, in his claim to intuit the intelligible forms or essences. This suffices to count Avicenna as rationalist. In a subsequent article, I shall probe Avicenna's epistemology according to the other two core theses of rationalism, presenting further evidence that he was a rationalist, not an empiricist. (shrink)

Science in future; Indonesian scholars on Prof. Stephen Hawking's lecture at the 2nd Millenium Evening, March 6, 1998.

Satu lagi, buku teologi (sosial) yang berbobot terbit! Berawal dari penelitian yang dimaksudkan untuk penyusunan disertasi pada The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), 2004, Pendeta Gereja Masehi Injili di Halmahera, Julianus Mojau menyodorkannya kepada khalayak ramai di Indonesia. Argumen utama buku ini dapat diformulasikan dalam pertanyaan berikut ini: bagaimana model teologi sosial sebagaimana dihasilkan oleh tokoh-tokoh Kristen Protestan dan dokumen-dokumen yang meretas dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia selama kurun waktu tiga dasawarsa, konkretnya semasa pemerintahan Orde Baru? (...) Selama kurun waktu tersebut, Mojau mengenali tiga model teologi sosial di lingkungan Kristen Protestan, yakni teologi sosial modernisme, liberatif, dan pluralis. Ketiga model itu diuraikan dengan sangat runtut, gamblang, sistematis, kritis, berikut logika analitik yang memperlihatkan keluasan dan kedalaman wawasan penulis. Terminologi “teologi sosial” ramai dimanfaatkan dalam blantika percaturan keilmuan di lingkungan Kristen Protestan Indonesia setelah (alm.) Pendeta Eka Darmaputera, Bernard Adeney-Risakotta, Martin Lukito Sinaga, dan Th. Sumartana menggantangnya pada awal tahun 2000.Ditunjukkannyadengan sangat jelas, bahwa “praksis” yang mengawali suatu proses berteologi sudah muncul jauh sebelum angka tahun tersebut. Pada prinsipnya segala teologi adalah teologi sosial, menurut kesimpulan A.G. Hoekema, (hlm. xv), meskipun J.S. Aritonang memberikan batasan simpel dan meyakinkan, yang intinya: “Berteologi di tengah realitas sosial yang kompleks,” itulah Teologi Sosial, (hlm. xiii). Setelah Pendahuluan yang panjang (26 halaman), yang memaparkan duduk perkara dan hal ikhwal diskursus yang diusung, berturut-turut dari Bab 1 (tentang teologi sosial modernisme, hlm. 27-142), Bab 2 (tentang teologi sosial liberatif, hlm. 143-279) dan Bab 3 (teologi pluralis, hlm. 280-365), Bab 4 (retrospeksi dan prospek teologi sosial pasca Orde Baru, hlm. 366-403) penulis memperlihatkan kajian dan analisis secara kritis ketiga model kategori teologi sosial Kristen Protestan di Indonesia. Ketiga model teologi tersebut ditempatkan oleh penulis dalam babak Orde Baru Indonesia (tahun 1969-1990-an) di bawah rezim Soeharto dan dalam pertautannya dengan Islam Politik............... Sebagai paparan dan kajian ilmiah yang mengedepankan pandangan putera-puteri terbaik Kristen Protestan berikut dokumen-dokumen DGI/PGI, karya Mojau ini tidak mampu menyembunyikan keyakinannya bahwa kebangkitan Islam Politik hanyalah sebuah euforia artikulasi kesadaran politis-humanistis yang sedang mencari format yang cocok dalam perubahan zaman di tengah proses transisional. Justru karena itulah Gereja-gereja perlu merangkul dan membuka komunikasi serta dialog yang tulus dengan saudara-saudara penganut Islam Politik sebagai sesama yang merindukan kedamaian, kebaikan, dan keadilan. Perjuangan bersama itulah yang dimaksudkan agar politik sebagai kearifan menatalayani kehidupan bersama tercapai. Dalam pembacaan saya, buku ini sangat inspiratif, kaya dengan informasi, mengedepankan pandangan secara komprehensif tanpa menghilangkan sikap kritis dan tajam. Ini fenomenal dan monumental! Mungkin inilah satu-satunya karya yang “berani” mengritik karya T.B. Simatupang. Mojau sendiri, menurut saya, memperlihatkan diri sebagai pribadi yang memegang teguh spirit Protestan sejati, yakni selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk deifikasi. Karya ini akan lebih baik lagi jika ada indeks nama atau masalah pada halaman-halaman akhir. Selain itu, istilah “modernisme” yang diimbuhkan pada Teologi Sosial di mata saya memiliki konotasi lain, yakni aliran modernisme yang dikecam oleh (alm.) Pius X sebagai “biang dari segala kesesatan.” Tetapi di atas segala-galanya, analisis Mojau yang tajam membuat lorong-lorong kebuntuan koeksistensi damai dan adil dengan Islam Politik dapat diurai. Dengan demikian tanda tanya pada judul buku ini terjawab dengan pasti. (A. Eddy Kristiyanto, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)