Abstract
Debat tentang pluralisme tetap berlangsung di Indonesia, karena itu dua buku yang akan dibahas di sini sangat relevan. Paul F. Knitter, seorang teolog Katolik, merumuskan suatu pandangan pluralistik mirip dengan yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia pada 2005, sedangkan Gavin D’Costa dalam bukunya dengan tajam membongkar “pluralisme” itu. Dua-duanya berargumentasi secara teologis, atas dasar pengandaian-pengandaian Kristiani-Katolik. Dalam bab pertama Knitter menggariskan kembali perjalanan teolo- gisnya dari eksklusivisme, melalui inklusivisme, ke posisi yang dinama- kannya “pluralisme.“ Knitter tidak hanya menolak anggapan (yang oleh Gereja Katolik sudah ditolak sejak sebelum Konsili Vatikan II) bahwa ”di luar Gereja tidak ada keselamatan“ (”eksklusivisme“), melainkan juga posi- si-posisi ”inklusivistik“—seperti yang misalnya dikemukakan oleh Karl Rahner—yaitu bahwa, meskipun semua orang dapat diselamatkan, namun mereka diselamatkan karena Yesus Kristus, jadi bahwa kebenaran penuh hanya ada dalam iman kepada Yesus Sang Juru Selamat bagi semua. Plu- ralisme Knitter menyatakan bahwa tidak ada agama yang dapat meng- klaim keunggulannya terhadap agama lain. Kalau saya tidak salah tangkap, Knitter mengajukan tiga argumen. Yang pertama adalah kejujuran dialog antaragama. ”Bagaimana,” tanya Knitter, “orang dapat sungguh-sungguh ’menghormati’ kebenaran dalam pandangan orang lain... apabila kita masuk ke dalam dialog dengan keyakinan bahwa kita yang mempunyai kebenaran definitif?” (hlm. 33). Argumen yang sama juga diajukan dalam bentuk sedikit lain: Menurut Knitter tidak mungkin seorang tokoh atau suatu ajaran religius tertentu memuat seluruh kekayaan realitas Ilahi. Yesus boleh diyakini sebagai “totus Deus” (seluruhnya Allah), tetapi bukan sebagai “totum Dei” (keseluruhan Allah). Yesus betul-betul penyelamat, tetapi selain Yesus ada banyak penyelamat lain. Argumentasi ini merangsang pertanyaan kembali apakah dialog dapat jujur kalau para peserta sebelumnya harus melepaskan keyakinan mereka yang paling inti? Knitter boleh saja menyangkal bahwa keseluruhan Ilahi ada dalam Yesus, tetapi atas dasar apa ia menuntut agar orang Kristiani menyangkalnya juga? Bukankah Knitter jatuh ke dalam dogmatisme sama dengan yang dituduhkannya?.................................................... D’Costa mengklaim bahwa pengertian keselamatan yang triniter itu menjamin apa yang justru tidak terjamin oleh “pluralisme” ala Knitter; yaitu, keterbukaan, toleransi dan kesamaan. Keterbukaan, karena Gereja dapat dan bahkan harus betul-betul belajar dari agama-agama lain. Tole- ransi, karena Gereja wajib menghormati kebebasan beragama; artinya, ada- lah hak setiap orang dan kelompok orang untuk mengakui dan mempraktikkan agama yang mereka yakini. Kesamaan, karena Gereja mengakui martabat setiap orang sebagai alamat cinta Ilahi. D’Costa mengakhiri bukunya dengan suatu pertimbangan bagus tentang makna dan tempat doa antaragama-agama yang berbeda. Buku D’Costa adalah salah satu bahasan paling jelas, mendalam, dan meyakinkan tentang bagaimana orang Katolik, dan seharusnya semua orang Kristiani, dapat bertemu dengan agama-agama lain tanpa kesombongan, tetapi juga tanpa mengkompromikan imannya. D’Costa membuka dogmatisme deistik-sekularistik (Allah tidak masuk kedalam sejarah umat manusia) dan posisi-posisi yang menamakan diri pluralistik. Adalah kekuatan buku D’Costa bahwa ia memperlihatkan bahwa justru iman pada Allah yang triniter, yang kita ketahui dari pewahyuan Diri Allah dalam Yesus, memungkinkan untuk bersikap hormat dan terbuka kepada agama-agama lain. Daripada menyanyikan lagu bahwa semua agama pada dasarnya sama saja, D’Costa memungkinkan kita untuk tanpa kompromi percaya pada apa yang diyakini Gereja sejak 2000 tahun: bahwa Yesuslah Sang Juru Selamat Ilahi, dan sekaligus menghormati mereka yang berbeda imannya. Itulah dasar mantap bagi dialog antarumat beragama. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).